Badan Pusat Statistik (BPS) adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang berperan dalam perstatistikan Indonesia. Dalam melaksanakan tugas, kinerja pegawai BPS sangatlah diperlukan untuk mengelola dan melaksanakan manajemen administrasi lembaga. Menurut Mahmudah Eny (2019), salah satu hal yang memengaruhi kinerja adalah kepuasan kerja. Namun, sejauh ini belum terdapat pengukuran dan identifikasi determinan dari kepuasan kerja pegawai secara komprehensif di BPS. Oleh karena itu, diperlukan pengukuran dan identifikasi determinan kepuasan kerja pegawai secara komprehensif di BPS. Kepuasan merupakan sebuah persepsi. Agar jawaban setiap individu bermakna, dibutuhkan sebuah variabel pembanding. Variabel pembanding tersebut berupa pengukuran tingkat pemahaman pegawai mengenai manajemen SDM. Namun, sebelum itu, perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa terdapat hubungan antara tingkat kepuasan kerja dan tingkat pemahaman pegawai mengenai manajemen SDM. Oleh karena itu, penelitian ini juga menguji ada atau tidaknya hubungan antara tingkat kepuasan kerja pegawai dan tingkat pemahaman pegawai mengenai manajemen SDM.
Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di BPS Pusat, BPS Provinsi, BPS Kabupaten/Kota, Pusdiklat BPS, dan Politeknik Statistika STIS dengan tahun kelahiran sebelum tahun 2001.
Populasi survei dalam penelitian ini adalah seluruh PNS dengan tahun kelahiran sebelum tahun 2001 yang bekerja di kantor BPS Pusat, BPS Provinsi, BPS Kabupaten/Kota, Pusdiklat BPS, dan Politeknik Statistika STIS yang berhasil dicacah.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah PNS yang bekerja di BPS Pusat, BPS Provinsi, BPS Kabupaten/Kota, Pusdiklat BPS, dan Politeknik Statistika STIS dengan tahun kelahiran sebelum tahun 2001.
Handoko (2008) mengemukakan kepuasan kerja sebagai keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dari pandangan seseorang atas pekerjaan mereka. Menurut Robbins dan Judge (2013:79), ada lima dimensi kepuasan kerja, yaitu pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan promosi, pimpinan, dan rekan kerja.
Sedarmayanti (2017) mengemukakan bahwa kinerja karyawan merupakan hasil kerja yang diberikan kepada seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi, secara legal, tidak melanggar hukum, serta sesuai moral dan etika. Penilaian kinerja karyawan (performance appraisal) menurut Evita et al. (2017) adalah serangkaian aktivitas evaluasi yang dilakukan secara sistematis mengenai performa seorang karyawan. Koopmans et al. (2011) menyimpulkan bahwa Individual Working Performance (IWP) dapat diukur melalui empat dimensi, yaitu kinerja tugas, kinerja kontekstual, perilaku adaptif, dan perilaku kerja kontraproduktif
Sedarmayanti (2017) menyatakan bahwa lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitar tempat seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok. Menurut Moos (1974), lingkungan kerja dibentuk oleh tiga dimensi, yaitu dimensi hubungan, pertumbuhan pribadi, dan pemeliharaan sistem.
Motivasi adalah energi yang menggerakkan individu untuk berusaha mencapai tujuan yang diharapkan (Sulistiyani dan Rosidah, 2009:76). Unsur-unsur motivasi kerja oleh George & Jones (2005) adalah arah perilaku, tingkat usaha, dan tingkat kegigihan.
Budaya organisasi di BPS adalah nilai-nilai inti (core values) yang merupakan fondasi kokoh untuk membangun jati diri dan penuntun perilaku setiap insan di BPS dalam melaksanakan tugasnya. Unsur pembangun core values ini adalah profesional, integritas, dan amanah (JDIH, 2014).
Tarwaka (2011) menjelaskan bahwa beban kerja merupakan sesuatu yang muncul dari interaksi antara tuntutan tugas-tugas di lingkungan kerja, keterampilan, dan persepsi dari pekerja. Dimensi beban kerja menurut Arika (2011) dibedakan menjadi dua, yaitu berdasakan faktor eksternal dan faktor internal.
Indeks Kepuasan Kerja Pegawai (IKKP) tertinggi berada di Provinsi D.I. Yogyakarta sebesar 83,30, sedangkan yang terendah berada di Provinsi Papua Barat sebesar 71,05. Selain itu, didapatkan indeks nasional sebesar 78,42.
Pada pegawai BPS keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa variabel lingkungan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel kepuasan kerja. Sementara itu, variabel beban kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap variabel kepuasan kerja. Variabel motivasi kerja, lingkungan kerja, dan budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel kinerja.
Tidak terdapat hubungan antara tingkat kepuasan kerja dan tingkat pemahaman mengenai manajemen SDM di BPS. Sebagai akibat dari tidak adanya hubungan antara tingkat kepuasan kerja dan tingkat pemahaman mengenai manajemen SDM pada pegawai BPS, maka tingkat pemahaman pegawai mengenai manajemen SDM tidak dapat digunakan sebagai variabel pembanding pada pengukuran tingkat kepuasan kerja pegawai BPS.
Indeks Kepuasan Kerja Pegawai (IKKP) tertinggi berada di Provinsi D.I. Yogyakarta sebesar 83,30, sedangkan yang terendah berada di Provinsi Papua Barat sebesar 71,05. Selain itu, didapatkan indeks nasional sebesar 78,42.
Pada pegawai BPS keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa variabel lingkungan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel kepuasan kerja. Sementara itu, variabel beban kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap variabel kepuasan kerja. Variabel motivasi kerja, lingkungan kerja, dan budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel kinerja.
Tidak terdapat hubungan antara tingkat kepuasan kerja dan tingkat pemahaman mengenai manajemen SDM di BPS. Sebagai akibat dari tidak adanya hubungan antara tingkat kepuasan kerja dan tingkat pemahaman mengenai manajemen SDM pada pegawai BPS, maka tingkat pemahaman pegawai mengenai manajemen SDM tidak dapat digunakan sebagai variabel pembanding pada pengukuran tingkat kepuasan kerja pegawai BPS.
Dibuat dengan penuh
© Divisi Pengolahan dan Visualisasi Data Bidang TI PKL 60 POLSTAT STIS T.A 2020/2021